Selasa, 17 Juli 2012

Kesunahan Dan Hikmah Mengangkat Telunjuk Ketika Tasyahud


Kesunahan Dan Hikmah Mengangkat Telunjuk Ketika Tasyahud

Sering kali kita sebagai seorang muslim yang awam belajar shalat maupun ibadah yang lain hanya seperluanya saja. Bahkan tidak jarang diantara kita eggan bertanya kepada para kyai/ustadz maupun mu’allim tentang apa yang sebenarnya ada dibenak kita. Entah karena merasa hal tersebut tidak penting ataukah memang tidak enak bila banyak bertanya. Apalagi jika pertanyaan dengan kata tanya "mengapa?". 
Namun jika tiba waktunya, kita sering menyesalkan mengapa hal itu tidak kita tanyakan, bukankah malu bertanya sesat di jalan, begitu pepatah berkata. Biasanya kasus seperti ini muncul dalam masalah-masalah yang kelihatannya sepele, yang sudah taken for granted atau ma wajadna aba-anaa. Dengan kata lain, perkara yang sudah dari sononya begitu. Semisal menegakkan jari telunjuk kanan ketika membaca tasyahud dalam shalat, baik tasyahud awal maupun tasyahud akhir.
Memang para muallim, kyai dan ustadz sedari dulu juga mengajari shalat demikian, turun temurun dari gurunya lagi hingga Rasulullah saw. sebagai mana dalam hadits-Nya yang popular
صلوا كما رأيتموني أصلي- رواه البخاري
Artinya:
Rasulullah saw bersabda “Shalatlah kalian sebagaimana kamu melihat (tata cara) shalatku” . HR. Bukhari
Namun, sejatinya hal ini mengandung hikmah tersendiri sebagaimana disinggung dalam kitab Zubad Syaikh Ibnu Ruslan:
وعند إلاالله فـــالمهللة  *  إرفع لتوحيد الذى صليت له
Dan ketika mengucapkan ‘illallah’ angkatlah telunjukmu guna mengesakan Tuhan, karena itulah tujuan shalatmu.
Memang kalimat bait di atas sangatlah sederhana, tetapi muatan dibalik kesederhanaan itu sangatlah dalam sekali. Bahwasannya shalat yang kita lakukan tidaklah semata untuk menggugurkan kewajiban belaka, tetapi untuk mengesakan-Nya. Sudahkan kita shalat seperti itu?
Begitulah hikmah yang penting dibalik pengangkatan telunjuk ketika tasyahud, sehingga dalam Hasyiah atas Syarah Sittin Lil Allamah ar-Ramli diterangkan bahwa mengangkat telunjuk ketika tasyahud hukumnya sunnah.
ويسن أن يشير بها عند قوله إلا الله ولتكن منحنية متوجهة للقبلة وذلك فى تشهديه
 Artinya:
Maka seseungguhnya disunnahkan berisyarat dengan telunjuk (tangan kanan) ketika mengucapkan ‘Illallah’ dan hendaklah telunjuk itu membungkuk menghadap qiblat. Baik dalam tasyahud awal maupun tasyahud akhir.
Apa yang diputuskan oleh para ulama di atas tentunya tidaklah asal-asalan sebagai penguat sebuah hadits dari az-Zubair alam Musnad Imam Ahmad diterangkan:
 حدثنا ‏ ‏يحيى بن سعيد ‏ ‏عن ‏ ‏ابن عجلان ‏ ‏قال حدثني ‏ ‏عامر بن عبد الله بن الزبير ‏ ‏عن ‏ ‏أبيه ‏ ‏قال ‏‏كان رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏إذا جلس في التشهد وضع يده اليمنى على فخذه اليمنى ويده اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة ولم يجاوز بصره إشارته ‏
Ketika Rasulullah saw duduk dalam tasyahud, diletakkanlah tangannya yang kanan di atas paha kanan, dan tangan yang kiri di atas paha kiri, dan beliau berisyarat dengan telunjuk, juga pandangannya tidak melampaui isyaratnya. (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)
Inilah hikmah selanjutnya, secara tidak langsung Rasulullah saw mengajari ummatnya bahwa telunjuk dapat menjadi media menuju shalat yang khusyu' dengan membatasi pandangan kita jangan sampai melampau isyarat itu, metode seperti ini mungkin dapat dikembangkan lagi bagi mereka yang memiliki semangat menuju shalat khusyu',

Rabu, 04 Juli 2012

SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM tantang IJMA’

SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
(IJMA’, QIYAS DAN ISTIHSAN)


Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.

A.      Ijma’
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.
Rukun ijma’ menurut definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’. ”Kesepakatan” itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1.Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.



 
Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
a.  memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an dan Sunnah serta ijma’ sebelumnya.
b.  memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
c.  menguasai ilmu bahasa.
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.

Rukun ijma’
Rukun ijma’ ada empat;
1.      Terjadinya peristiwa itu jumlahnya lebih dari satu orang.
2.      Sepakat atas hukum syar’i tentang suatu peristiwa
3.      Adanya kesepakatan tentang suatu permasalahan
4.      Adanya kesepakatan dari semua mujtahid yang berkumpul pada masa itu.

Hujjah Ijma
Bila hukum telah disepakati maka wajib diikuti dan tidak diperbolehkan adanya perbedaan. Hukum itu tetap dengan ijma. Jadi, tidak ada perbedaan pendapat dan tidak boleh untuk dinasikhkan. Bukti terhadap  hujjah ijma adalah sebagai berikut:
1.      Dalam Al Qur’an, Allah memerintahkan orang mukmin untuk taat kepada Allah, Rasul, dan Aulil Amrilmu’minin, yang artimya : 

Artinya” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu .Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Lafadz amar disini artinya urusan, berbentuk umum meliputi urusan agama dan duniawi. Ulil amri duniawi yaitu raja, pemerintah, dan para wali. Ulil amri agama yaitu para mujtahid dan mufti (orang yang memberi fatwa).

2.      Hukum yang disepakati itu adalah hasil pendapat mujtahid umat islam.
Sabda Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam :
لاَ تَجْتَمِعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ
 “Umatku tidak akan berkumpul (sepakat) diatas kesesatan”. (HR. Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah)

Selasa, 03 Juli 2012

Khianat membuat rohani manusia menjadi suram


Khianat membuat rohani manusia menjadi suram dan menjuruskan pikiran dan kasih sayangnya kepada kesesatan dan kerugian total. Ancaman ini datang dari merajalelanya hawa nafsu, ketika pikiran jahat niendiktekan untuk menerima kerendahan dan kenistaan, kebalikan dari menerima inspirasi dari akal dan iman.
      an, kelelahan, dan kepapaan, dan biarlah orang mencapai tujuan dan harapan mereka dengan memuji diri dan menjilat.Janganlah berteman dengan orang terkemuka kepada siapa manusia berlomba untuk mendekatinya. Pakailah busana takwa dan akhlak hingga rambutmu berubah kelabu, tetapi jangan sekali-kali kaubiarkan aib yang suram menodaimu. Kemudian, bersyukurlah kepada Tuhan dan berserah dirilah kepada-Nya dengan nurani suci dan hati yang
                Setiap orang memerlukan kepercayaan orang lain terhadap dirinya. Seorang karyawan atau pedagang dapat beroleh keuntungan material melalui berbagai jenis pengkhianatan, dan barangkali ia mampu menyembunyikan pengkhianatan dan kepalsuannya untuk waktu singkat. Tetapi, pada suatu waktu hal itu akan terungkap dan menyebabkan ia kehilangan kepercayaan, yang merupakan modal utamanya. Ia juga akan menodai martabatnya dalam masyarakat dengan tindakantindakan buruk itu.
            optimis.
             
              Kejujuran adalah modal manusia dalam kehidupan. Orang mempercayai dan mengandalkan orang jujur, dan ini memungkinkan orang jujur itu menjalani kehidupan yang bersih dan terhormat. Bilamana kita mengandalkan orang jujur, kita melaksanakan kejujuran pada setiap sektor kehidupan dan dapat mencapai banyak tujuan serta mendapat banyak pengalaman berharga. Dari sini, kita akan maju dalam kehidupan dengan rasa aman dan bahagia.
              Orang khianat hidup dalam ketakutan yang tak berkesudahan. Mereka takut, cemas, goyah, dan biasanya pesiniis.
                  Adalah suatu fakta nyata bahwa ketenteraman dan ketertiban masyarakat tergantung pada keamanan umum. Karena rasa tak aman dan getirnya kecemasan yang merongrong lingkungan masyarakat disebabkan oleh pengkhianatan, maka perilaku khianat mengancam hakikat kehidupan sosial. Sesungguhnya, di mana tak ada keamanan dari pengkhianatan maka di sana tak ada kebebasan, persaudaraan, atau kemanusiaan.
                  Agama Mengutuk Pengkhianatan
                        Allah Yang Mahakuasa menjadikan hukum-hukum yang diatur-Nya bagi makhluk-Nya sebagai "amanah". IaYang Mahasuci juga memperingatkan manusia terhadap bahaya khianat dalam banyak contoh di Kitab Suci.,
                Khianat tidak terbatas pada urusan-urusan tertentu, melainkan meliputi seluruh tindakan manusia. Bilamana kita uji kata-kata dan perbuatan, kita dapati bingkai batasan pengkhianatan yang tepat dan jelas; apabila seseorang tersesat sedikit dari bingkai itu maka ia pun meninggalkan wilayah kejujuran dan memasuki padang pengkhianatan dan kebatilan.
    Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu padahal kamu mengetahui.
                              (QS. 8:27)
                    Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
   
Seorang tokoh memberikan nasihat kepada putranya,
                                                      (QS. 4:58)
                              Anakku, jadilah miskin dan papa saat orang menjadi kaya raya karena pengkhianatan. Hiduplah tanpa kemasyhuran dan kedudukan, dan biarlah orang mencapai kedudukan tinggi dengan ngotot dan berkelahi. Tanggunglah kepedih
   
                Amirul Mukminin `Ali mengatakan, "Bentuk pengkhianat an terburuk adalah mengkhianatai sahabat yang akrab dan tulus, dan melanggar perjanjian." (Ghurar al-Hikam, h. 501)


Ia juga mengatakan, "orang yang terburuk adalah orang yang tidak peduli akan amanat dan tak menahan diri dari pengkhianatan." (Ghurar al-Hikam, h. 446)
  Rasulullah (saw) mengatakan, "orang yang berbuat jahat akan dihukum di dunia ini."
(Nahj al,Fashahah)
          Menurut Dr. Rose Keen,
            Katanya lagi, "Jauhilah pengkhianatan, karena ia adalah seburuk-buruk dosa; sesungguhnya orang khianat akan disiksa di neraka karena pengkhianatannya."
(Ghurar al Hikam, h. 150)
                        Setiap kesalahan yang saya lakukan dalam hidup saya akan menghadang jalan saya dan merenggut kebahagiaan dari saya; ia akan mengalihkan pengertian dan kesadaran saya. Sebaliknya, setiap usaha yang benar atau tindakan saleh menyertai dan memotivasi saya untuk mencapai segala tujuan dan harapan.
        Imam Ja`far Shadiq menasihati salah seorang sahabatnya,
                Jangan sekali-kali mengucapkan selamat berpisah kepada kami tanpa menasihati dua perilaku: (1) tetaplah berbicara benar dan (2) sampaikan amanat kepada yang saleh maupun pendosa, karena kedua perilaku itu adalah jalan kepada rezeki.
                Teori mekanis yang mengatakan bahwa "aksi dan reaksi adalah sama" berlaku pada pula pada psikologi perilaku. Perbuatan baik dan buruk mempunyai akibat yang sesuai pada pelakunya maupun pada orang-orang sekitarnya, atau yang menirunya.
           
(Safinah al-Bihar, I, h. 41)
      Islam mengajak semua orang kepada kehidupan yang kokoh dan bahagia di bawah tatanan pelaksanaan kewajiban yang ditentukan menurut perintah-perintahnya yang luhur. Islam juga menekankan pentingnya menyampaikan amanat.
        Irnam `Ali mengatakan, "Penyampai amanat adalah gelar kaum mukmin yang sesungguhnya."
(Ghurar al-Hikam, h. 453)
      Iman adalah senjata penjaga rohani. Ia merupakan faktor penting yang dapat menjangkau jauh ke dalam jiwa. Ia mengatur perbuatan dan perilaku manusia dengan tatanan yang tepat. Irnan juga rnemantapkan rasa tanggung jawab individu dan sosial, memperingatkan manusia terhadap pengaruh kerusakan masyarakat, dan menuntun masyarakat kepada kesalehan dan kebenaran.
        Imam Shadiq berkata,
                  Berteguh hatilah menyampaikan amanat. Demi Dia yang mengutus Muhammad (saw) sebagai Nabi yang benar, seandainya orang yang membunuh ayahku menitipkan kepada saya pedang yang digunakannya membunuh beliau, aku akan mengembalikannya kepadanya.
               
(Amali al-Shaduq, h. 149)
  Iman mencegah kerusakan dan pengkhianatan. Ia membuat orang-tua bertanggung jawab membuka jalan bagi anakanaknya untuk mencapai kehidupan bahagia, dengan jalan menguji secara cermat kebiasaan-kebiasaan mereka di usia dini, menanamkan keimanan dalam hati mereka, dan mendorong perilaku yang terpuji dalam diri mereka.
                          Dalam Islam, tak ada tenggang rasa terhadap orang khianat. Dalam keadaan tertentu, Islam menetapkan pemotongan tangan orang yang menyerobot harta kaum Muslim. Islam menerapkan dengan keras hukum pidana terhadap pengkhianat, demi melindungi hak-hak sosial dan memelihara keselamatan umum. Prosedur ini menempatkan rasa tanggung jawab dalam masyarakat, dan membantu pembinaan umat yang saleh.
            Imam Zainal `Abidin berkata,
                "Anda bertanggung jawab mengenai orang-orang yang berada di bawah perwalian Anda; membangun akhlaknya, membimbingnya ke jalan Tuhannya Yang Mahasuci, dan membantunya menaati [Allah]."
        Setiap kesalahan yang dilakukan mempunyai akibat buruk di dwlia ini dan di akhirat, di samping menjadi faktor bagi kejatuhan manusia.